Semangat Saya

Hari ini adalah hari saya..
semangat ini adalah semangat saya...
cinta ini, cinta saya..
semua ini, milik saya...

tapi.. Allah lah yang memiliki saya.. pun semua yang terakui...

Minggu, 29 Maret 2009

अकू, बूंगा दान Bunda

for everyone

Aku tak begitu suka bunga. Memandang bunga, terasa sedang dalam belukar sepi. Mendatangkan bayang-bayang panjang berkabut. Menyeruak lapis demi lapis getaran rindu. Menebar wangi pilu.



Mawar kelopak merah, memunculkan pedih. Berkisah tentang gadis kecil dengan kuncir duanya. Bedebar di balik dinding, berjalan pelan ke arah perempuan dengan mesin ketik. “Bunda, besok jadikan datang ke pentas drama?” pelan suara si kecil diantara tekanan tuts mesin ketik. Sejenak perempuan dengan mesin tiknya terhenti. Memandang gadis kecil. “Hmmm… iya,” jawabnya acuh, sambil kembali jarinya menyelusuri tombol persegi empat. “Asyiiikkk…! Horeee, bener ya Bun, dateng yah…” gadis kecil mulai berjingkrak riang. Berlari kegirangan, mengelilingi meja kerja di depannya. “Sstt… Berisik! Cepat tidur, jangan ganggu” suara perempuan terdengar memberi komando. Dan si kecilpun dengan dada membucah senang, menurut, menuju peraduan.



Teriakan kecil menyeruak pagi “Bi Engkar…. Bunda mana?” Gadis kecil mencari perempuan yang semalam serius di balik mesin tik. Yang selalu menjebak mata kecilnya dengan kerinduan.



“Neng alit, *Agan Istri sudah pergi. Ada rapat penting katanya,” perempuan setengah baya dengan daster lusuhnya menjelaskan. Lalu pergi ke balik kamar, seperti mencari sesuatu. Tak peduli pada mata gadis kecil yang mulai memerah panas dengan hati pedih. Membenci janji yang tak terpenuhi. “Neng alit, ini titipan dari Agan Istri, mau disemat dimana?” Ia menyodorkan peniti yang atasnya telah dihiasi bunga mawar merah kecil.



Selalu, ketika perempuan agung itu pergi meninggalkannya dengan ingkar janji, akan ada setangkai, sematan atau hiasan bunga. Melati dengan kuncup putih, menghiasi gelang karet kunciran rambut, ditinggalkan ketika tak bisa turut menemani dalam pentas musik. Gladiol, berkelopak jingga. Ditinggalkan ketika tak datang pada janji perayaan kelulusan. Lily putih, tergeletak di atas tempat tidur, ketika tak bisa ikut menemani dalam study tour. Tugas kerja sepertinya lebih penting dibandingkan tugas menjadi seorang ibu.



Anggrek, berpoles ungu, aku pun tak suka. Mengingatkan pada taman kecil seorang perempuan agung. Tersenyum merekah indah, menyirami anggrek. Bersenandung kecil, memandangi kelopak panjang ungu. Raut wajahnya akan berubah serius ketika gadis tanggung berkepang dua datang mendekati. Khawatir kuncup indah ungu akan terpetik. “Jangan bermain dekat-dekat sini!” Tegas gelegar suaranya. Tak peduli pada tangan gadis tanggung dengan ember kecil, yang juga ingin membantunya menyirami tanaman. Gadis tanggung pergi menjauh, membawa dada kecewa. Tak dihargai. Sejak itu, ia tak suka anggrek. Iri pada anggrek yang selalu dapat merasakan sejuknya senyuman wanita agung seorang Ibu.



Sapu lidi, entah kenapa aku menyukainya. Aneh, mungkin. Memandangnya mendatangkan buncahan hati riang. Menyimpan kenangan bingkai indah. Seorang anak kecil tertawa riang, berlari, terengah-engah mengitari halaman rumah. Menghindar kejaran. “Bunda bilang, cepet mandiii…! Bukannya lari…” teriak perempuan agung tak kalah terengah-engah. Berusaha menangkap dan menakuti si kecil dengan acungan sapu lidi. Riang, si kecil terus tertawa. Akhirnya kesempatan bermain bersama Bunda yang didamba terpenuhi, pikirnya. Ia tak takut sapu lidi. Yang ia takutkan adalah bunga. Ketika perempuan itu berhasil menangkap dan mengurungnya dalam kamar mandi. Bau Sedap Malam begitu menusuk. Bunga itu telah bertengger dalam ember biru di pojokan kamar mandi. Tanda bahwa hari ini atau esok, perempuan agung itu akan pergi meningkalkannya kembali. Si kecil, hanya bisa tergukguk, membuncahkan tangisan. Bukan tangisan karena kurungan kamar mandi. Namun buncahan linangan pilu, akan ditinggalkan.





Bunga, bagiku tak lebih dari isyarat perpisahan. Membentangkan jarak antara kerinduan seorang anak pada kasih ibu. Sosok agung yang selalu berpeluh, pontang panting dalam kejaran waktu. Tegar berdiri dalam keras pejuangan. Berusaha mengumpulkan lembar demi lembar rupiah untuk menghidupi empat gadis kecil. Sejak nahkoda yang menjadi pijakan keluarga pergi meninggalkan, berlabuh di dermaga lain. Melepaskan tanggung jawab, terbebas dari membiayai empat buah hati kecil tanggungan sang nahkoda.



Aku, bunga dan bunda bagai berada di jeruji besi, tak dapat disatukan. Sering aku berkata pada diri, tak seharusnya membenci bunga. Tak seharusnya pula luka merana disisihkan bunda kutumpahkan pada bunga. Bukankah dalam kelopak indah bunga selalu kutemukan senyum Bunda, semangat Bunda dan kegetiran Bunda?



Senyum Bunda yang merekah, saat merangkai bunga-bunga yang akan ditinggalkan. Seolah melalui bunga ingin berkata “Jangan khawatir, Bunda selalu bersama.” Roncean bunga yang kadang menjadi penghias bandana, gelang karet ataupun bros peniti indah empat anak gadisnya. Yang tak mungkin dapat ditemukan di toko manapun.



Semangat Bunda yang berpacu dengan waktu. Menyiapkan bahan mengajar, data reportase wartawan ataupun pekerjaan serabutan lainnya yang dapat menghasilkan uang. Demi menanggung empat gadis kecilnya yang akan beranjak remaja. Bukankah hal tersebut tidak mudah? Dimana biaya besar sangat dibutuhkan.



Kegetiran Bunda, ketika tubuhnya kian hari kian ringkih, kurus. Dengan mata sembab bersimbah butiran bening. Bersama jiwa yang terbelah. Dicampakan lelaki yang begitu dicintainya. Berusaha tegak berdiri dalam oleng. Merangkul empat gadis kecilnya untuk menjauh dari sang lelaki yang dermaganya telah terisi biduk lain.



Bunda, sering kutatap raut wajahmu kini. Kerutan ketuaan semakin hari semakin bertambah. Dengan rambut yang mulai memutih dan tipis, tertutup kerudung pelapis. Dalam nafas Bunda sembilan bulan aku pernah hidup. Dari rahim Bunda aku terlahir, dari air susu Bunda aku pernah minum. Merasakan indahnya belaian lembut dan senandung untaian do`a. Yang semua jasanya tak akan pernah bisa terbalas dengan apapun. Maafkan aku Bunda... Yang selalu memagari hati dengan jeruji besi. Menyalahkan Bunda dengan membenci bunga.



Kini, dalam kejaran waktu yang membawaku ke lembar dewasa. Aku seolah tersadar. Bunga dan Bunda adalah dua sosok tak terpisahkan. Dalam kelopak bunga kutemui keindahan Bunda. Dan bunga terindah, termegah serta terwangi adalah Bunda.



Aku, Bunga dan Bunda. Padanya ada cerita tentang getiran benci terkikis cinta. Apakah Bunda tahu? Kini aku mulai suka memandangi bunga. Mengagumi warna warni keindahan Bunga. Pada kelopaknya, ada sketsa semua perjuangan Bunda saat suka dan duka. Pada tangkai kecilnya yang terus tumbuh, ada goresan cinta dan doa Bunda. Peluk hamba di haribaan Bunda.

Minggu, 08 Maret 2009

Teman tanpa syarat

Di sebuah negeri antah berantah ada sebuah perbincangan antara dua orang yang baru bertemu.
“Aku mau jadi temanmu dengan syarat.” Ujar salah seorang kepada lawan bicaranya.
“Apa syaratnya?” Tanya orang itu
“Kalau kamu jadi temanku, kamu harus ada di kala aku membutuhkanmu, kamu mau menolongku, memberi hutang kepadaku, mau mengusap air mataku… “
“Kalau aku tidak bisa bagaimana?”
“Kamu tak bisa jadi temanku…”

Apakah teman butuh syarat?
Aku berteman denganmu dengan syarat, jangan biarkan aku sendiri dan jangan pernah menyakitiku karena kamu tahu aku
Aku berteman denganmu dengan syarat, akan kau berikan pundakmu untuk aku menangis
Aku berteman denganmu dengan syarat, pinjamkan aku uang yang banyak, maka kau temanku.
Aku berteman denganmu dengan syarat, berikan aku kejutan menyenangkan, kebahagiaan yang indah.
Aku berteman denganmu dengan syarat, kau jawab semua sms-ku, kau angkat telepon aku dan tak kau biarkan aku sendiri.
“Inikah syarat itu?”
“Iya”
“Harus kupenuhi?”
“Iya”


****
Hei, Fren…gimana kau menanggapi pernyataan tadi? Tentu kamu ga setuju, kan? Hitungan banget, sih jadi orang…hehehehe. Atau kemudian kamu jadi berpikir… Jangan-jangan secara tersirat, kamu telah mengajukan berbagai macam syarat itu kepada teman-teman kamu. Atau karena berbagai pengalaman yang ada, kamu merasa cinta yang hadir dalam pertemanan tidaklah tulus hingga harus ada syarat-syarat itu? Hmm, silakan direnungkan…

Apakah arti sebuah teman bagimu? Pertanyaan itu timbul di benak saya begitu saja. Teman adalah sosok-sosok terdekat saya setelah keluarga. Ada sebuah ikatan batin hingga saya bisa berteman dengan banyak orang. Semacam chemistry. Saya sangat senang berteman, saya menerima semua ajakan pertemanan dari mana pun, dari dunia maya sekalipun. Tapi, apakah saya orang yang menyenangkan? Entahlah… apakah ukuran punya banyak teman berarti dia menyenangkan. Lalu, apakah saya tulus? Tanpa syarat? Entahlah…

Saya coba menelusuri pertemanan saya dengan beberapa orang, teman tanpa batas ruang dan waktu, dalam arti, walau udah sama-sama ga satu sekolah, walau udah sama-sama ga satu kantor, kami tetap berteman. Saya pernah menyakiti mereka, saya pernah bikin mereka menangis, kadang sikap saya ke mereka sangat menyebalkan. Pernahkah saya sakit hati kepada mereka? Pernah… Bahkan saya pernah sebal dengan mereka. Pertengkaran menjadi makanan sehari-hari saya dengan mereka saat itu.

Tapi, apakah mereka masih jadi teman saya? Ya, hingga hari ini kami masih bersama, baru saja kami berbuka puasa bersama. Kami bertahan beberapa tahun terakhir dengan berbagai macam pernik-pernik. Tanpa ada pernyataan, kami akan kembali berbagi, menegur kesalahan kami, mencari titik terang, menginap bersama. Mengirim sms-sms manis atau hikmah. Secara tersirat, kami saling menyayangi tanpa berusaha untuk mengungkapkan.

Kemudian, teman saya pun bertambah, dan terus bertambah… Alhamdulillah, ada yang bertahan, ada yang numpang lewat, ada yang mucul dan menghilang. Mereka membagi banyak hal kepada saya. mereka memberikan ketulusan indah. Mereka memuji saya, memberi oleh-oleh, memberi hadiah, mentraktir saya, mengirim sms, mengirim email, menelepon, mengkritik, memotivasi, memarahi, mengingatkan… Semua teman yang saya kenal di mana pun… terima kasih, semoga Allah membalasnya…

Sementara saya masih apa adanya diri saya. Saya masih suka lupa tanggal lahir teman saya, lupa mengingat janji saya, lupa membalas sms dan mungkin tak hadir ketika teman saya butuh cerita.
Saya cuma manusia, tak bisa memberi banyak dengan keterbatasan saya, tapi saya akan sangat gembira, ketika saya mampu untuk lebih baik memperbaiki hubungan pertemanan saya.

Saya akan tersanjung ketika teman saya “marah-marah” menunjukkan dirinya tengah memarahi orang, curhat dengan bebasnya, menunjuk saya mendengarkan keluh kesahnya pada batasan tertentu.
Saya akan ikut senang ketika teman saya mau menerima sedikit pemberian saya, karena sering dengan sok tahunya saya mengirim “barang unik/aneh” ke teman-teman saya. Saya akan ikut sedih, ketika teman saya bersedih, menangis, marah dan kesal… dan ingin ikut berempati.

Teman, mungkin saya tak hadir ketika kamu butuh saya, tolong maafkan saya…
Teman, mungkin saya hanya bisa mendengarkan dan tak banyak membantu ketika di tengah kesulitan, tolong maafkan saya.
Teman, saya sangat jahat membuatmu menangis, sakit, marah, kesal. Mulut saya mungkin telah jahat menghina, tolong maafkan saya,
Teman, saya nakal, iseng tidak pada tepatnya, tolong maafkan saya
Teman, saya pernah menuntutmu lebih ketika saya bersedih dan membutuhkan kamu hadir, padahal kamu sudah meng-sms saya..
Teman,,, Terima kasih,,, untuk semuanya...


“Siapa saja yang tulus rasa persaudaraannya dengan saudaranya , maka dia akan menerima kekurangan saudaranya itu, menutupi keburukannya dan memaafkan kesalahanya.”

“ Ketahuilah, bahwasannya rasa persaudaraan itu akan diuji ketika dalam kesulitan. Janganlah kamu berbicara kecuali hal yang benar. Ingatlah kebaikan saudarimu dan lupakanlah keburukan-keburukannya “