Setelah sekian jam dilanda gempa yang dahsyat, kota Pensylvenia
mengalami porak poranda yang cukup hebat. Oleh sebab itu, pemerintah
setempat merencanakan untuk segera memulihkan kota. Suatu saat,
mandor bangunan yang memimpin renovasi pemulihan kota berjalan-jalan
sambil melakukan pengawasan terhadap pekerjaan perbaikan kota
tersebut. Saking asyiknya berjalan, sang mandor tidak melihat
beberapa langkah didepannya terbentang kabel listrik beraliran tinggi
yang siap merenggut nyawanya.
Pekerja yang berada dibeberapa meter dibelakangnya melihat bahaya
yang mengancam sang mandor, mereka pun kemudian mencoba
mengingatkannya dengan berteriak. Namun, teriakannya nyaris tidak
terdengar ditelan suara deru mesin dan traktor yang ada disekitar
tempat itu. Demi menyelamatkan mandornya, pekerja tersebut mengambil
batu kecil dan melemparkannya ke arah kepala mandor hingga berdarah.
Mandor kaget dan marah sambil melihat kebelakang, mencari siapa yang
telah melempar kepalanya.
Begitu sang mandor menoleh ke belakang, pekerja yang melemparnya
langsung angkat tangan dan menunjukk ke arah kaki sang mandor. Apa
yang dilihatnya membuat sang mandor shock, karena dua langkah ke
depan kakinya akan menyentuh kabel listrik yang bertegangan tinggi.
Untung ada pekerja yang melemparkan batu kearah kepalanya untuk
mengingatkan bahwa ada bahaya besar yang siap mengancam. Kepala sang
mandor memang berdarah, namun nyawanya tertolong.
***
Terkadang, dalam kehidupan ini telinga kita terlalu kebal terhadap
suara-suara peringatan yang bertujuan membawa kita ke arah kehidupan
yang lebih baik. Popularitas, ambisi, kesombongan, kekayaan, dan
segala kompetensi yang dimiliki sering membutakan nurani dan
menumpulkan ketajaman pendengaran kita terhadap alunan musik
instropeksi yang merdu.
Ada kalanya seseorang harus "dilempari batu" dulu untuk memosisikan
kembali agar tidak terjerumus lebih lanjut. Seorang rekan terpaksa
harus berurusan dengan pengadilan akibat cara memasukkan barang yang
dilakukannya tidak prosedural. Seorang saudara harus bolak balik
check up akibat sistem metabolisme tubuhnya sudah tidak seimbang.
Seorang kakak kelas harus digrounded dari penerbangan akibat
kelalaian melakukan SOP (Standard Operational Procedures). Bahkan,
seorang kolega sempat kehilangan orang yang dikasihinya akibat stres
yang dimunculkan dari kekurangan cinta yang diberikannya.
Beberapa contoh "lemparan batu" itu ternyata membuat instropeksi yang
mendalam untuk memosisikan kembali arti hidup dan tujuan bekerja yang
sebenarnya. Itulah sebabnya setiap "lemparan batu" seyogyanya
dimaknai sebagai bagian dari pengembangan kualitas diri yang optimal,
sekalipun lingkungan mungkin memaknai sebagai suatu kegagalan,
kejatuhan, maupun kehancuran. Kita jadi teringat apa yang dikatakan
oleh Confusius, bahwa "kita tidak pernah jatuh, melainkan karena kita
bangkit setiap kali jatuh".
"Apa yang terjadi di depan kita, maupun di belakang kita sesungguhnya
merupakan persoalan kecil dibandingkan dengan apa yang ada didalam
diri kita" demikian Oliver Holmes menambahkan dalam salah satu
orasinya.
Jadi, bukan peristiwa yang penting, namun respon terhadap peristiwa
itulah yang dapat memunculkan intisari pemaknaan hidup yang
sesungguhnya. Tanpa "lemparan batu", yakni ketika laboratorium Thomas
Alva Edison terbakar, mungkin saat ini kita masih hidup dalam
kegelapan. Kolonel Sanders pun harus mengalami "lemparan batu"
bertubi-tubi berupa penolakan, hingga sekarang kita bisa menikmati
gurihnya Kentucky Fried Chicken. Bahkan, Galileo Galilei harus kena
"lemparan batu" yang telak (dihukum mati) sekadar membuktikan bahwa
bumi ini bundar.
Bagi mereka, sebagaimana yang dikutip oleh pakar manajemen Peter F.
Drucker, lebih penting melakukan yang benar daripada sekedar
melakukan dengan benar. Ada harga yang harus dibayar. Namun, harga
ini ternyata tidak hanya mahal, tetapi memiliki nilai yang tinggi
sebagai sumbangsih yang berharga bagi pemikiran dan inovasi sejarah
umat manusia.
Ketika hari ini kita mendengar suara yang mengalunkan instrokpeksi
merdu maupun merasakan "lemparan batu" yang begitu terasa
menyakitkan, akankah dimaknai sebagai bagian dari dinamika hidup atau
sebagai kejadian yang harus dihindari?
"Life is Choice", demikian klaim seorang filsuf. Tidak mengherankan,
karena kita sebenarnya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus
diputuskan, cepat atau lambat. Memaknai setiap "lemparan batu" pun
merupakan pilihan. Kita yang memilih mau menjadi pegawai atau
pengusaha. Kita pula dihadapkan pada pilihan hendak menjadi pemimpin
yang melayani atau dilayani. Pilihan untuk menjadi kepala keluarga
atau "dikepalai" keluarga. Pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga
atau ibu kerumahtanggaan. Hingga pilihan yang tidak kalah pentingnya
adalah mau menjadi manusia yang berguna atau tidak, sebab salah satu
anugerah besar yang diberikan Sang Pencipta adalah The Power of
Choice. Selamat memilih jalan menuju pemaknaan hidup yang optimal !!.
(dikutip dari "Setengah Isi Setengah Kosong" oleh Parlindungan Marpaung)
***
Terima kasih buat sahabat2 ku yang telah 'menyelamatkanku' dari 'sengatan listrik ribuan volt' di depan sana..=)
doing better!! ^^,v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar